Rabu, 17 Desember 2008

tujuan saya

setelah berminggu-minggu saya merasa tidak punya tujuan , akhirnya kemarin hari rabu tanggal 17 desember 2008 kira-kira pukul 4 sore , saya tau tujuan saya .

tersesat dalam jangka waktu yang gag sebentar ,, dan kemarin akhirnya saya kembali . dengan penuh tujuan dan harapan baru .

JALAN TERPENDEK MENUJU SUATU TUJUAN ADALAH MELEWATI HAMBATAN .

kata-kata dari Mario Teguh dalam Golden Ways itu menjadi pegangan saya saat saya tersesat . dan saya menganggap bahwa saya tersesat itu adalah suatu hambatan dalam pencapaian tujuan saya .

tapi kemarin saya tersadar .
darimana saya tau kalo saya tersesat itu adalah suatu hambatan ? tanpa saya tau apa tujuan saya .

lalu berjalanlah minggu-minggu perjalanan saya yg lebih tersesat dari sebelumnya .
sedih , putus asa , hampa .
*ehmmm , itu gaya bahasa ..

lalu tiba tiba saja ! klik ! saya tau apa tujuan saya !
saat saya sedang belajar tari Saman yang dari Aceh itu loo ..
semua beban , tanda tanya , gelisah ..
melayang entah kemana !
digantikan sama perasaan bahagia yang entah datang dari mana .
saya tau , setelah berminggu-minggu menjadi kepompong , saya menjadi kupukupu lagi . untuk kesekian kalinya .

semua yang selama ini abu-abu ,, jadi jelas terlihat mana yang hitam dan putihnya .

tujuan saya ..
tidak pernah sejelas kemarin dan hari ini .

saya tidak tersesat lagi .
saya tau tujuan saya .

Selasa, 02 Desember 2008

Speak in English , please ??

Sabtu sore pertengahan bulan Oktober yang dingin. Angin dingin berhembus di luar sebuah restoran fast food di daerah Dago. Membuat suasana menjadi dingin. Saya dingin. Icha dingin. Kami kedinginan. Aku yang kebetulan lagi bareng Icha, janjian dari Jumat kemaren.
Jadi?

Kebetulankah jika kami memang janjian?

Pengen maen, kata si Icha yang saat itu pake celana panjang warna maroon dan kaos hitam dengan kerah V yang lahak.



saya dan icha saat kami sedang luthu-luthuna ,, icha saat di foto masi blun pake celana panjang berwarna maroon dan kaos hitam dengan kerah V yg lahak.

Kita lalu sengaja pergi nangkring ke sebuah restoran fast food di daerah Dago itu karena Cepi (mantan kekasih pria saya) berjanji dan bersumpah mati akan mentraktir kami es krim yang banyak sekali.

Dan Cepi menepati janjinya. Dia yang saat itu sedang dinas...

*Walaa, gaya pisan eta dinas! Kerja kok kerja! Heu...

Mentraktir kami sundae. Ahh, mantan kekasihku... Sungguh manis sekali dirimuh!

*Cuih!

Angin dingin berhembus di luar sebuah restoran fast food di daerah Dago. Kita makan sundae. Luar dalem dingin, booo!

“Haduhh, dingin pissaaannn!” komentar Icha yang saat itu pake celana panjang warna maroon dan kaos hitam dengan kerah V yang lahak. Saat itulah aku melihat dua buah eh dua orang cewek keturunan Tionghoa berjalan memasuki restoran fast food di daerah Dago tempat kami sedang nongkrong. Melihat pakaiannya yang terbuka dan minim, aku menanggapi komentar Icha dengan anggukan sambil berkata, “Iyya, dingin dingin gini malah ada yang pakeannya kebuka-buka gituh!”

“Dimana?”

“Ituhh! Di belakang kamuh!”

“Mana?”

“Nengok dulu ke belakang, dudul! Lu nanya ‘Mana?’ berapa kali juga kalo ngga sambil liat ke belakang mah percuma atuh! Dudul dasar!!”

“Hhoo, iya!” lalu Icha menengok ke belakang. “Yang mana?”

“Ichaaaa! Ampun dahh! Tinggi-tinggi buta!”

“Lohh? Apa hubungannya tinggi badan gua sama mata?”

“Yaa elu buta! Itu cewek dua dua ngga keliatan!”

“Yang manaaaaaa???”

“...”

“Ly, yang manaaa?”

“...”

Kedua cewek keturunan Tionghoa itu berjalan ke arah kami. Tepatnya, mendekati.

“Lilly Monyet! Yang mana?”

“Ini...h...” suaraku tiba-tiba tertahan tatkala (halah, eta gaya bahasa...) salah seorang dari dua cewek yang daritadi aku coba perlihatkan pada Icha menghampiriku dan berkata,

“@#*$$#@??”

Asli itu si guah cuma ngerti tanda tanyanya aja!
"
“@*$#%*@??”

“...”

“...”

Bahasa Indonesia atuh lah, mbak! Lieur yeuh!

“Excusme! Do you know where Rumah Mode is?”

Aahh, ngerti! Ngerti! Bahasa Inggris tohh! Ngomong kek daritadi! Sambil ini juga teh masih ngga ngerti dia ngomong apa. Loading ceritanya teh. Gugup juga ceritanya teh. Gimana ngga? La wong, sedetik yang lalu aku ngomongin mereka berdua!

“Excusme?” ituh sayah yang balik nanya, soalnya ngga jelas.

“Do you know where Rumah Mode is?” cewek itu mempronounciationkan Rumah Mode dengan benar, yaitu tanpa ‘e’ di belakang Modenya. Tapi dasar orang Sunda saya teh! Biasa ngomong Rumah Mode pake ‘e’ jadi ngga ngerti.

Tapi untungnya, Icha yang tadi nyaris buta nyari cewek-cewek itu, mengerti.

“Rumah Mode, Ly! Rumah MODEEE!!!” Icha bilang pake ‘e’ dibelakangnya. Ngarti guah kalo gitu mahh!

“Ooo, what do you mean is Rumah Mode, dont you?” sayah bertanya, dengan ajaibnya, lancar pada cewek itu. Juga mengatakan Rumah Mode dengan ‘e’ dibelakangnya.

“Yaa! Rumah Mode! Do you know where is it?” tanya cewek itu lagi dengan mengatakan Rumah Mode mengikuti sayah yang sebenarnya salah, pake ‘e’ dibelakangnya.

“Ah ya! You have toooooo...” mikir dulu sayah teh.

Emang Rumah Mode dimana?

Ahh, Setiabudi!

“You have toooooo...” mikir lagi dulu sayah teh.

Emang dari sini naek apah ke Setiabudi?

Kan jalanannya satu arah!

Harus jalan ke ujung jalan Sumur Bandung terus naek angkot Cicaheum-Ledeng yang ke arah mau ke Ledeng.

“You have toooooooo...” mikir lagi dulu lagi sayah teh.

Gimana ngomongnya?

You have to walk sampai ujung Sumur Bandung street then naek angkot Cicaheum-Ledeng?
Kok bingung ginih yahh?
Aku melihat Icha yang tampak mengerti aku sedang kebingungan tapi dia hanya membisu soalnya dia ngga terlalu bisa bahasa Inggris. Tapi kemudian, sambil nunggu saya mikir, Icha akhirnya berusaha membantu saya dengan mengatakan kepada kedua turis itu dengan bahasa inggrisnya yang superduper terbatas.

"Move! Move! Right! Right!" kata Icha. Berusaha begitu keras.
Tapi bagi saya, dia kayak tukang parkir.
Bukan itu tapi masalahnya. Kenyataannya, dia sama sekali tidak membantu saya. Dan kedua turis yang sempat mengalihkan tatapan dari saya ke Icha, kembali menatap saya, karena jelas-jelas mereka ngga ngerti Icha ngomong apa.

Kedua cewek itu kelihatan menunggu lanjutan kata-kata ‘You have tooo...’ sayah. Lalu akhirnya aku memutuskan untuk mengantarkan mereka jalan ke ujung jalan Sumur Bandung daripada repot-repot ngejelasin pake bahasa Inggris.

“Well, maybe i could take you to the blahblahblah...” ngga tau da aku teh mau ngomong apa. Tapi kayanya dua turis itu mengerti bahwa aku ingin mengantarkan mereka. Kenapa aku tahu bahwa kedua turis itu mengerti? Karena mereka bilang thank you very much ketika aku berdiri dari tempatku duduk tadi.

Aku lalu mengucapkan salam perpisahan pada Icha, aku juga bilang bahwa aku sangat senang telah bertemu dengannya dan berharap agar dia tidak pernah melupakan aku selamanya, yang lalu dijawab Icha, “He-euhlah! Buruan siah maneh!!”

*Arti kata-kata Icha: Iyah, cepetan yaa Lilly yang cantik!

Dalam perjalanan, kami ngobrol.
Arti 'ngobrol' :

Mereka nanya, saya jawab dengan terbata-bata.

Saya nanya, mereka jawab dengan sangat lancar sampai-sampai saya ngga ngerti.


Singkatnya, mereka berdua adalah turis dari Singapore (baca Singaporenya tanpa ‘e’). Datang ke Bandung Sabtu pagi dan akan pulang lagi ke Singapore Minggu sore.


Mereka bertanya berapa umur saya, masih muda yah, pelajar atau anak kuliahankah, berapa lama dari situ ke Rumah Mode, angkot ituh apah, naek angkot yang mana, kok banyak orang, lagi macet yah, kalo naik taksi gimana, kira-kira berapa lama taksinya nyampe, tau berapa nomer telepon taksinya, pake bahasa apa, berapa kira-kira bayarannya, gimana rahasianya saya bisa luthu sekali.

Ahhh ,,
Sayah cuma nanya asal negara mereka darimana eeh mereka nanya sayah banyak sekali. Syukur Alhamdulillah, sayah bisa jawab. Kadang terbata-bata kadang lancar.

*Lancar bagian ‘Yes/No’nya ajah maksudnya, hahaha...

Lalu akhirnya saya menawarkan diri supaya saya saja yang berbicara untuk memesan taksinya. Salah satu cewek itu dengan antusiasnya mengeluarkan hapenya dan memberikannya pada saya. Saya dengan pedenya langsung mencet-mencet nomer taksi seingat saya itu dan langsung menelepon.

“Halo?”

“Selamat sore, bu. Ada yang bisa dibantu?”

“Bisa mesen taksi ngga, mas?”

“Waduh, bisa mah bisa aja, bu. Tapi bukan ke sini.”

“Emang ini apah?”

“Ini pabrik kertas, bu!”

“Walaaa, salah euy!”

“Iyaa salah, bu... Atau ibu mau pesen kertas aja?”

“Hah? Ngga deh makasih!”

“Yakin, bu?”

“Bener, mas! Suwerrr! Makasih, mas!”

Saya tutup teleponnya. Kedua turis itu memandangku penuh harap, tapi aku tidak berkata apa-apa dan kembali memencet nomer taksi yang sedikit berbeda dengan ingatan sayah.

“Halo?”

“Selamat sore, bu. Dengan Dani. Ada yang bisa dibantu?”

“Ini bukan pabrik kertas kan, mas?”

“Hah?”

“Ngga, mas! Bisa mesen taksi ngga, mas?”

“Boleh tau no teleponnya, bu?”

“May i know your phone number?”

“Hah? Gimana, bu?”

“Bukan bukan, mas! Bukan ke mas!”

“Ooh!”

Si turis keliatan ngga inget nomernya.

“Ohh, nomer sayah aja, mas! 022-911xxxx...”

“Atas nama?”

“What is your name?”

“Hah? Gimana, bu?”

“Aduh, mas inih ge-er sekalih... Bukan ke mas...”

“Oh iya, maaf, bu!”

Si turis menyebutkan namanya, tapi sayah ngga ngerti. Jadi saya sebutin aja nama saya.

“Atas nama Melinda aja, mas!”

“...”

“Mas?”

“Ooh, ke saya, bu?”

“Haduh, masss...”

“Takut dibilang ge-er lagi, bu! Hehe... Atas nama siapa tadi, bu?”

“Melinda, masssss...”

“Dimana ibu ingin dijemputnya?”

“Di sebuah restoran fast food di daerah Dago...”

“Ooh, disitu yahh?”

*Ngerti gituh? Hahaha...

“Berapa lama, mas?”

“Baru 2 bulan, bu!”

“Hah? Apanya?”

“Saya kerja disini...”

“Yee si mas! Berapa lama kira-kira taksinya nyampe?”

“Ohh itu! Hehe, 20 sampai 30 menitan...”

“He says, maybe it will take 20 or 30 minutes, is it okay?”

Si turis mengangguk, si mas operator taksi diam. Ngerti kali sekarang mah.

“Ya udah, ngga apa-apa, mas! Ditunggu yaa, mas! Makasih!”

“Iya sama-sama, bu! Eh, bu! Bu!”

“Iya, mas?”

“How are you?”

“Sae, mas! Nuhun ahh!”

“Hahahahaha...”

Sayah tutup teleponnya ketika si mas mas operator taksinya masih ketawa. Lalu aku bilang ke mereka supaya nunggu taksinya di sebuah restoran fast food daerah Dago tempat mereka pertama kali bertanya padaku. Mereka mengangguk dan terlihat lega.

Saat kami kembali, Icha terlihat bingung.

“Kok lama? Kok balik lagi?”

Lalu aku bercerita pake bahasa Indonesia ke Icha. Dengan lancar. Dan merasa aman untuk mengeluh karena aku tahu kedua turis itu takkan mengerti kami. Lalu aku menawarkan kedua turis itu untuk duduk bersama kami, mereka menggangguk tapi mau mesen makanan dulu.

Sambil menunggu taksi, kedua turis yang sudah memesan makanan, duduk bersama kami. Kami mengobrol, Icha ikut berpartisipasi juga walaupun dengan bahasa Inggris yang sepotong-potong dan campur bahasa Indonesia. Lalu kami berfoto-foto pake kamera digital milik turis itu.

Lalu taksi pun datang, aku tiba-tiba bertanya apakah mereka punya friendster atau facebook, lalu mereka bilang punya facebook. Dengan buru-buru, dia mengeluarkan kartu namanya dan menulis alamat e-mail facebooknya di belakang kartu namanya. Lalu aku menerimanya dan kemudian menghampiri taksi yang sudah parkir itu. Setelah memberi instruksi pada supir taksi itu, mereka berdua lalu masuk ke dalam mobil taksi. Dan terus-menerus mengucapkan thank you very much.

Aku dan Icha melambai penuh haru. Ada sedikit rasa sedih saat mereka pergi. Tapi toh, aku sudah punya alamat facebooknya. We will be keep in touch, won’t we?

Ciyyeeee, pake bahasa Inggris tuhh!

Speak in English, please!!
Hahaha...